Dari laman Viva.co.id - Bayangan kita tentang museum barangkali selalu dipenuhi oleh sosok yang
klise: berhalaman luas, bangunan megah dengan lorong-lorong berliku di
dalamnya, serta penuh koleksi benda-benda sejarah yang beragam.
Katakanlah Museum
Nasional di Jakarta. Ia dibangun di atas gedung megah, dengan sentuhan
Eropa gaya klasisisme dipoles cat putih. Atau Museum Fatahillah yang
tegak di tanah seluas 1.300 meter persegi menopang bangunan bergaya
neoklasik. Juga Museum Wayang, yang menyimpan segala jenis wayang
historikal, termasuk wayang berhias batu berlian.
Tapi apakah museum harus
selalu berupa bangunan megah? Jakarta ternyata punya banyak tempat
“rahasia”, yang letaknya tak terduga. Di sudut-sudut keramaian dan lalu
lalang penduduk, ada beberapa bangunan mungkin tak dilirik orang.
![]() |
Museum |
Banyak yang tak menduga,
mereka sedang melintas di depan persembunyian benda bersejarah. Ia tak
didirikan di sekitar jalan arteri, tak ada papan nama besar dan indah
sebagai penanda. Museum-museum di bawah ini terletak di dalam pasar, di
dalam rumah peribadatan, bahkan di antara rumah-rumah warga.
Museum di Tengah Kebun
Jalan Kemang Timur Raya
terlihat lengang, hanya sesekali dilintasi motor dan mobil. Rumah-rumah
elit berjejer, bersandingan dengan gedung kantor sederhana. Orang-orang
yang sering berkutat di kawasan itu, bahkan belum tentu tahu ada museum
di tengah-tengah mereka.
Tepat di depan Masjid
Nuruh Huda, sebuah rumah sudah terlihat mencolok dengan pintu gerbang
dari kayu-kayu. Patung-patung dari batu seperti menyambut kedatangan
tamu. Rumah yang cukup unik dan berbeda di wilayah itu, tapi tetap saja
tak ada baliho penanda museum yang terlihat dari sisi jalan.
Bangunan rumah seluas 700
meter persegi dikelilingi kebun seluas 3,5 hektar. Hampir semua
perabotan di rumah adalah benda bersejarah sebagai bagian inti dari
museum. Dari sinilah kemudian nama “Museum di Tengah Kebun” berasal.
Rumah rampung pada tahun
1980. Pemiliknya bukan berlatar arkeolog, antropolog ataupun sejarah,
melainkan seseorang yang bergelut di dunia periklanan. Sjahrial Djalil
sudah jatuh cinta terhadap sejarah sejak kecil, sejak kakaknya diangkat
menjadi tentara dan tumbuh dilingkungan pengukir sejarah. Ia lahir di
Pekalongan 73 tahun yang lalu dan telah mengelilingi bumi sebanyak 26
kali.
"Saya ingin hidup enak,
dalam arti, saya bisa keliling dunia, oleh karenanya saya ambil bidang
periklanan," kata pemimpin perusahaan periklanan AdForce, yang sudah
didirikannya sejak usia 25 tahun ini.
Djalil sapaan akrabnya,
telah melakukan perjalanan lintas benua dan melihat 103 museum di
seluruh dunia. Perjalanan itulah yang menginspirasinya membuat museum,
tapi tentu saja dengan konsep tak biasa. Berkat bantuan arsitek muda
Timi Kurniawan, Djalil membangun rumah di tengah kebun yang kemudian ia
sulap menjadi museum.
Pemuda Indonesia dapat
belajar melalui rumah yang menaungi 2.481 koleksi benda bersejarah ini,
asalnya dari 63 negara dan 21 provinsi di Indonesia. Dari mulai arca
Ganesha seberat 3,5 ton hingga peralatan mandi Kaisar Wilhem Perancis
disimpan baik-baik di sini. Hampir seluruh koleksi mancanegara didapat
dari Balai Lelang Christie's.
Atap-atap rumah dibuat
dari susunan kayu-kayu, bagian tubuh disangga batu bata berusia 400
tahun. Melirik ke 17 ruangan di dalamya lebih mengagumkan, setiap sudut
rumah dipenuhi patung-patung, tembok tak luput dari lukisan artistik,
kursi dan meja pun terbuat dari kayu-kayu berumur ratusan tahun.
Setiap ruangan didesain
apik dengan konsep yang sangat Jawa. Di ruang tamu, terdapat sofa hasil
modifikasi gamelan, ruang makan sangat rapi dengan tata letak piring dan
sendok yang tak boleh bergeser satu jengkal pun. Wayang-wayang dari
abad ke-18 serta Patung Roro Blonyo, akan selalu tertangkap dalam
pandangan pengunjung.
Kamar Sjahrial Djalil
sendiri didekor dengan lukisan tango asal Argentina. Ada juga lukisan
yang diduga sebagai karya Picasso, serta simbol dari berbagai agama
seperti patung Yesus Kristus dan arca kepala Buddha.
"Insya Allah saya Muslim yang taat, yang mengagumi karya manusia dalam menyembah setiap keyakinan," lanjut Djalil.
Ruangan lain berisi
benda-benda etnografi 1 dan 2, ada pula yang dikhususkan untuk menyimpan
hasil kubur dari Dinasti Ching dan Dinasti Ming di China. Koleksi yang
tak kalah memukau berjudul Gadis Eropa dari Perancis, terbuat dari
ukiran batu apung yang konon paling sulit dipahat dari jenis batu yang
lain.
Dari sekian banyak
koleksinya, yang paling berkesan bagi Djalil adalah patung Buddha di
ruang pertama. Ekspresinya sangat mendalam, kata dia, Buddha terlihat
begitu sedih, tubuhnya dibalut pakaian emas melangkahi kesejahteraan
rakyatnya yang masih memprihatinkan. Djalil telah membukukan koleksinya
sejak 2003, namun justru, kisah patung Buddha yang paling disukai
tersebut tak ditulisnya.
“Saya kalau sudah cerita
tentang patung Buddha itu panjang sekali, mungkin waktu dua malam tidak
cukup,” lanjut pria pengagum Mohammad Hatta, sang proklamator itu.
Di beberapa sisi tembok,
tampak lukisan-lukisan misterius karya Amang Rahman hingga beberapa
patung singa garuda khas Bali. Benda-benda tertua berupa kendi Ampora
berusia 4.800 tahun sebelum masehi, di sudut ruang lain terdapat fosil
kerang siput yang hidup ratusan juta tahun lalu sejak zaman dinosaurus.
Soal berapa banyak dana
yang sudah dikeluarkan untuk membeli benda-benda ini, Djalil tak mau
membuka itu. Namun ada satu koleksi yang harus dibayar dengan
pembangunan fasilitas umum seperti sekolah untuk rakyat. Itu adalah arca
Ganesha yang digali dari tanah Tedu, Jawa Tengah. Benda yang kini jadi
ikon Museum di Tengah Kebun.
Museum dibuka untuk umum
setiap Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu pukul 9.45-12.00 serta 12.45-15.00.
Diperlukan reservasi terlebih dahulu dengan kuota pengunjung 7-12
orang. Museum tak memungut biaya sepeserpun.
“Museum ditujukan untuk
pendidikan, saya selalu bilang pada pengunjung, benda-benda di museum
ini adalah tolak ukur bagaimana manusia menciptakan sesuatu. Yang di
zaman dahulu saja bisa membuat benda sebagus ini, seharusnya yang
sekarang pun bisa melebihi itu,” ucap Mirza Djalil, keponakan Sjahrial
yang kini bertugas memandu pengunjung.
Setiap pengunjung harus
melepas alas kaki dan menggantinya dengan sandal yang sudah disediakan,
mengapa? Ini karena rumah beralaskan 19 karpet Pakistan yang dirajut
oleh tangan-tangan anak kecil di negara tersebut.
Museum begitu rapi dan
terawat, dibersihkan setiap bukan hari kunjungan. Untuk keamanan, atap
rumah kayu sudah diberi kerangka kawat-kawat baja, setiap ruangan
dilengkapi kamera CCTV. Djalil mengatakan, sampai saat ini belum ada
yang mencoba mengusik tempat tinggalnya.
“Kalaupun ada yang coba
mencuri, paling yang diambil patung-patung Jawa, karena memang itu yang
paling laku di pasaran,” lanjut pria berdarah Sumatera Barat ini.
Djalil kini menghabiskan
waktunya di rumah, sekadar pergi ke kebun yang sangat dicintainya
melebihi semua koleksi di rumahnya. Dalam ceritanya mengenai museum ini,
ia menuturkan keprihatinan akan sikap anak muda yang sudah tak acuh
pada sejarah.
"Kalau saya sudah tidak ada, museum ini diwariskan untuk Bangsa Indonesia agar anak muda mau tahu sejarah," kata Djalil kepada VIVAlife.
Museum Katedral
Ditunjang arsitektur
Neo-Gotik khas Perancis, Gereja Katedral tampil memukau dengan
menara-menara tinggi, kubah bergaris dan dinding kaca besar. Katedral
merupakan saksi bisu pemerintahan Hindia Belanda, digunakan untuk
kegiatan-kegiatan Katolik pada masa itu.
Katedral bertatapan dengan Masjid Istiqlal, tepatnya di Jalan Katedral No.7B
Katedral bertatapan dengan Masjid Istiqlal, tepatnya di Jalan Katedral No.7B
Pasar Baru, Jakarta
Pusat. Kawasan yang relatif sepi, namun keberadaan Katedral tak asing
lagi di telinga banyak orang. Yang mereka tahu, Katedral adalah tempat
peribadatan dan kegiatan keagamaan. Pernah terpikir kalau ada sebuah
museum bersembunyi di dalamnya?
Paduan suara sering
berlatih di dalam Gereja Katedral, gemanya terdengar dari arah balkon
lantai 2 bangunan tersebut. Kini mengingat kondisinya sudah tak
memungkinkan lagi, kemudian ranah balkon diubah menjadi museum.
Seperti dilansir situs web Katedral Jakarta,
benda-benda yang disimpan meliputi alat ibadat seperti Monstrans
bercorak barok yang digunakan Pastor Limburg pada tahun 1700. Detailnya
memperlihatkan relief seekor Domba duduk dia tas sebuah Kitab, yang
diyakini lambang Yesus sebagai Anak Domba Tuhan. Koleksi lain berupa
Tongkat gembala dan piala yang diterima Mgr. A. Claessens, pastur Agama
Katholik yang datang ke Indonesia sekaligus pendiri Gereja Katedral.
Beberapa teks doa
berbingkai juga disimpan, ketika itu, Bahasa Latin masih digunakan
sebagai bahasa ibadat resmi dan sang imam masih membelakangi umat. Di
sudut lain, kasula-kasula dalam berbagai bentuk tersimpan dalam lemari
antik, diantaranya kasula model kuno lima warna hingga kasula tiga
rangkap yang tempo dulu digunakan uskup. Kasula itu sendiri merupakan
pakaian terluar yang dikenakan iman dalam perayaan di Gereja-Gereja
Kristen bertradisi Barat.
Selain kasula, etalase
juga dilengkapi mitra atau topi ibadat uskup, antara lain yang pernah
digunakan oleh Mgr Willekens, uskup asal Belanda yang terkenal gagah
berani dan Paus Paulus VI yang menjabat pada 1963-1978.
Koleksi selanjutnya
berupa patung-patung seperti patung sepasang malaikat yang selama seabad
menghiasi makam para imam di pekuburan Tanah Abang hingga pemakaman
digusur. Ada juga Patung Bunda Maria berkonde, diapit oleh sepasang pria
wanita Jawa yang sedang menyembah, Patung Petrus Paulus dan Patung
Suster Ursulin.
Etalase lain menyajikan
buku pemberkatan perkawinan, baptis, buku-buku ilmiah Bahasa Latin
hingga buku ilmiah dan hiburan tentang Hindia Belanda. Di sekitar tembok
tangga pun dihiasi lukisan Katedral dan foto-foto bersejarah yang
menggambarkan proses pembangunan gedung Gereja Katedral. Museum Katedral
terbuka umum setiap Senin, Rabu dan Jumat pukul 10.00-12.00.
Galeri Informasi Batu Mulia dan Batu Aji
Galeri Informasi Batu Mulia dan Batu Aji
Tepat di depan Stasiun
Jatinegara, Jakarta Gems Center berdiri sebagai pusat batu mulia sejak
2009. Letaknya di Jl. Bekasi Barat No. 2 Jatinegara, tempat ini selalu
ramai akan pengrajin, penjual, pembeli, pemerhati dan penggila bebatuan
mulia.
Layaknya pasar
tradisional pada umumnya, kios-kios berjejer menjajakan beraneka ragam
batu. Hampir setiap kios sedang disinggahi pembeli, menawar-nawar atau
pun sekadar melihat barang yang dijajakan. Terdapat batu yang belum
dijadikan perhiasan, namun banyak juga kalung, cincin dan gelang yang
ditampilkan. Beberapa toko bahkan menjual benda pusaka seperti keris.
Menuju lantai 1 Jakarta Gems Center, akan terlihat sebuah ruangan yang dibatasi
pintu-pintu kaca. Bagian tembok depan dituliskan “Pusat Promosi dan
Informasi Batu Mulia dan Batu Aji Indonesia”. Ternyata ini adalah tempat
bernaungnya segala jenis batu di Indonesia, koleksi dari Aceh hingga
Papua disimpan di dalamnya.
Koleksi batu di antaranya
batu giok Sumatera, batu akik, batu Bacan, juga batu anggur biru yang
diramalkan akan diperebutkan banyak orang. Batu-batu di galeri ini
dibeli langsung dari para pengrajin yang terdapat di wilayah-wilayah
Indonesia seperti Banjar dan Sukabumi.
Kini galeri tengah
direnovasi, dijadikan wadah koleksi yang lebih menarik dan lengkap.
Junaedi selaku koordinator galeri mengatakan, nantinya, galeri akan
mencakup koleksi batu dari seluruh provinsi di Indonesia. Dengan
demikian tempat ini bisa memberikan informasi yang lengkap mengenai
batu-batu yang tengah dan akan laris di Indonesia.
“Yang datang biasanya
pembeli dan penjual, penjual bisa dapat informasi batu mana yang
nantinya akan tren. Pembeli juga bisa juga dapat referensi banyak
mengenai batu,” kata Junaedi kepada VIVAlife, Senin, 24 Februari 2014.
Tidak hanya perorangan,
bahkan rombongan dari perusahaan pun berkunjung ke sini. Penasaran
dengan bebatuan, berarti menambah pengetahuan tentang sejarah. Menurut
Junaedi, batu itu sendiri sudah merupakan benda bersejarah yang sudah
ada sebelum zaman peradaban manusia.
Lanjutnya, batu merupakan hasil alam Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan mampu memajukan sektor pariwisata.
Galeri ini diharapkan mampu dijadikan wahana pendidikan, memberi
pengetahuan tentang batu yang ternyata tak bisa dianggap remeh. Batu
dari Pulau Bacan, Maluku misalnya, harganya bisa mencapai miliaran
rupiah.
“Menilai batu itu dari
seni juga, semakin banyak warnanya kadang semakin jelas membentuk
lukisan, itu berarti akan semakin mahal harganya,” ujar Junaedi.
0 komentar:
Posting Komentar